KATA PENGANTAR
Puji
Syukur kami panjatkan ke-hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat
dan karunia-Nyalah, makalah ini dapat terselesaikan dengan baik, tepat pada
waktunya. Adapun tujuan penulisan
makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Dasar Umum, pada semester
II, di tahun ajaran 2013, dengan judul makalah tentang “Pernikahan” menurut
pandangan islam”.
Dengan
membuat tugas ini kami diharapkan mampu untuk lebih mengenal tentang cara untuk
menikah yang baik, yang merupakan tata cara untuk menikah yang baik menurut
pandangan islam.
Dalam
penyelesaian makalah ini, kami banyak mengalami kesulitan, terutama disebabkan
oleh kurangnya ilmu pengetahuan yang menunjang. Namun, berkat bimbingan dan
bantuan dari berbagai pihak, akhirnya makalah ini dapat terselesaikan dengan
cukup baik. Karena itu, sudah sepantasnya jika kami mengucapkan terima kasih
kepada:
- Bpk Dr. H. Fahrudin, M.Ag,
yang tidak lelah dan bosan untuk memberikan arahan dan bimbingan kepada
kami setiap saat.
- Orang Tua dan keluarga kami
tercinta yang banyak memberikan motivasi dan dorongan serta bantuan, baik
secara moral maupun spiritual.
Kami
sadar, sebagai seorang mahasiswa yang masih dalam proses pembelajaran,
penulisan makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna penulisan
makalah ini yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.
Harapan kami, semoga makalah yang sederhana ini, dapat memberi kesadaran tersendiri bagi golongan yang telah siap menikah.
Harapan kami, semoga makalah yang sederhana ini, dapat memberi kesadaran tersendiri bagi golongan yang telah siap menikah.
Bandung, 19 Mei 2013
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR.......................................................................... 1
DAFTAR ISI........................................................................................ 2
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR.......................................................................... 1
DAFTAR ISI........................................................................................ 2
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................. 3
A. Latar Belakang............................................................................. 3
B. Rumusan
Masalah........................................................................ 4
C. Tujuan dan
Manfaat......................................................................
BAB II. PEMBAHASAN
A.
Defini Pernikahan.................................................................................... 5
B.
Hukum
Pernikahan.................................................................................. 5
C.
Cara
Pemilihan calon.............................................................................. 6
D. Penyebab
haramnya sebuah pernikahan............................................... 6
E. Peminangan............................................................................................. 7
F.
Rukun nikah........................................................................................... 8
G.
Syarat calon suami.................................................................................. 8
H.
Syarat bakal istri..................................................................................... 8
I.
Syarat wali.............................................................................................. 8
J.
Syarat-syarat saksi................................................................................. 9
K.
Ijab.......................................................................................................... 10
L.
Qobul............................................................................................ 10
M.
Wakil wali..................................................................................... 11
N.
Malam pertama dan adab bersenggama............................................ 11
O.
Waktu yang tepat untuk melakukan pernikahan............................................................................................. 16
BAB III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan .................................................................................. 17
3.1 Kesimpulan .................................................................................. 17
3.2 Saran ............................................................................................ 17
DAFTAR PUSTAKA......................................................................... 18
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pernikahan merupakan sunnah Rasul yang disyari’atkan sebagai sebuah
keniscayaan fitrah kemanusiaan. Pernikahan, sebagai ikatan lahir bathin antara
seorang laki-laki dan perempuan dimaksudkan untuk membangun rumah tangga yang
sakinah, mawaddah dan rahma dengan demikian hubungan antara laki-laki dan
perempuan akan kuat dan memenuhi hukum legal-formal, baik dalam perspektif
agama maupun masyarakat (negara), apabila telah melakukan pernikahan sehingga
sesuatu yang belum menikah dilarang, seperti hubungan seksual dan hidup
serumah, menjadi boleh dan sah.
Hanya saja dalam
pernikahan, di samping ada syarat dan rukun yang mempengaruhi sah tidaknya
sebuah pernikahan, terdapat pula aturan lain yang terdapat dalam literatur
kitab-kitab fiqih klasik, yang di antaranya adalah konsep kafah, yakni
kesepadanan antara calon mempelai pria dan wanita dalam berbagai hal termasuk
agama, keturunan dan keilmuan.
Dalam usaha meleburkan suatu
bentuk hukum dalam dunia hukum Islam Indonesia. Tentunya kita ingin mengetahui
lebih dalam darimana asal konsep hukum yang diadopsi oleh Departemen Agama RI
tersebut yang kemudian menjadi produk hukum yang lazim disebut Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia, dan diantara materi bahasannya adalah rukun dan syarat
perkawinan yang akan coba kita pelajari perbandingannya dengan fikih munakahat.
Terpenuhinya syarat dan rukun suatu perkawinan, mengakibatkan diakuinya keabsahan perkawinan tersebut baik menurut hukum agama/fikih munakahat atau pemerintah (Kompilasi Hukum Islam).Bila salah satu syarat atau rukun tersebut tidak terpenuhi maka mengakibatkan tidak sahnya perkawinan menurut fikih munakahat atau Kompilasi Hukum Islam, menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan salah satunya.
Berawal dari garis perbandingan antara kedua produk hukum tersebut, pemakalah mencoba membahas perbandingan antara keduanya sehingga dapat diketahui lebih dalam hubungan antara keduanya.
Terpenuhinya syarat dan rukun suatu perkawinan, mengakibatkan diakuinya keabsahan perkawinan tersebut baik menurut hukum agama/fikih munakahat atau pemerintah (Kompilasi Hukum Islam).Bila salah satu syarat atau rukun tersebut tidak terpenuhi maka mengakibatkan tidak sahnya perkawinan menurut fikih munakahat atau Kompilasi Hukum Islam, menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan salah satunya.
Berawal dari garis perbandingan antara kedua produk hukum tersebut, pemakalah mencoba membahas perbandingan antara keduanya sehingga dapat diketahui lebih dalam hubungan antara keduanya.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa itu pernikahan
2.
Apa Hukum Pernikahan?
3.
Bagaimana
cara Pemilihan calon?
4.
Apa
Penyebab haramnya sebuah pernikahan?
5.
Bagaimana
cara untuk melakukan sebuah Peminangan?
6.
Apa saja yang mendasari Rukun nikah ?
7.
Syarat apa saja yang harus dipenuhi ketika menjadi calon suami?
8.
Syarat apa saja yang harus dipenuhi ketika menjadi bakal istri?
9.
Syarat apa saja yang harus dipenuhi ketika menjadi wali?
10.
Syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi ketika menjadi saksi?
11.
Syarat apa saja yang harus dipenuhi ketika melakukan ijab dan qobul?
12.
Apa yang harus dilakukan pada saat malam pertama dan adab bersenggama?
13.
Kapan waktu yang tepat untuk melakukan pernikahan?
14.
Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui pengertian pernikahan
2.
Untuk mengetahui hukum pernikahan
3.
Untuk
mengetahuu bagaimana cara pemilihan calon yang baik
4.
Untuk
mengatahui apa saja yang mengaharamakan sebuah pernikahan
5.
untuk mengetahui bagaimana cara peminangan
6.
Untuk mengetahui rukun nikah
7.
Untuk mengatahui syarat apa saja yang harus dipenuhi ketika menjadi calon
suami
8.
Untuk mengatahui syarat apa saja yang harus dipenuhi ketika menjadi bakal
istri
9.
Untuk mengatahui syarat apa saja yang harus dipenuhi ketika menjadi wali
10. Untuk
mengatahui syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi ketika menjadi saksi
11. Untuk
mengatahui syarat apa saja yang harus dipenuhi ketika melakukan ijab
12. Untuk
mengatahui syarat apa saja yang harus dipenuhi ketika melakukan qobul
13. untuk mengatahui apa yang harus dilakukan pada
saat malam pertama dan adab bersenggama
14. Untuk
mengatahui kapan waktu yang tepat untuk melakukan pernikahan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nikah
Pernikahan atau
adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh
dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinansecara norma agama, norma hukum,
dan norma sosial. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi
menurut tradisi suku bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial.
Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang-kadang
berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula.
Pengesahan secara hukum suatu
pernikahan biasanya terjadi pada saat dokumen tertulis yang mencatatkan
pernikahan ditanda-tangani. Upacara pernikahansendiri biasanya merupakan
acara yang dilangsungkan untuk melakukan upacara berdasarkan adat-istiadat yang
berlaku, dan kesempatan untuk merayakannya bersama teman dan keluarga. Wanita dan pria yang sedang melangsungkan pernikahan
dinamakan pengantin, dan setelah upacaranya selesai kemudian mereka dinamakan suami dan istri dalam ikatan perkawinan.
Pernikahan atau nikah artinya adalah terkumpul dan menyatu.
Menurut istilah lain juga dapat berarti Ijab Qobul (akad nikah) yang mengharuskan perhubungan antara
sepasang manusia yang diucapkan oleh kata-kata yang ditujukan untuk melanjutkan
ke pernikahan, sesusai peraturan yang diwajibkan oleh Islam[1]. Kata zawaj digunakan dalam al-Quran artinya
adalah pasangan yang dalam penggunaannya pula juga
dapat diartikan sebagai pernikahan, Allahs.w.t. menjadikan manusia itu saling berpasangan,
menghalalkan pernikahan dan mengharamkan zina.
B. Hukum Pernikahan
·
Cara yang
halal dan suci untuk menyalurkan nafsu syahwat melalui ini selain lewat
perzinahan, pelacuran, dan lain sebagainya yang dibenci Allah dan amat
merugikan.
·
Untuk memperoleh
ketenangan hidup, kasih sayang dan ketenteraman
·
Memelihara
kesucian diri
·
Melaksanakan
tuntutan syariat
·
Membuat
keturunan yang berguna bagi agama, bangsa dan negara.
·
Sebagai
media pendidikan: Islam begitu teliti dalam menyediakan lingkungan yang sehat
untuk membesarkan anak-anak. Anak-anak yang dibesarkan tanpa orangtua akan
memudahkan untuk membuat sang anak terjerumus dalam kegiatan tidak bermoral.
Oleh karena itu, institusi kekeluargaan yang direkomendasikan Islam terlihat
tidak terlalu sulit serta sesuai sebagai petunjuk dan pedoman pada anak-anak.
·
Mewujudkan
kerjasama dan tanggungjawab
·
Dapat
mengeratkan silaturahim
C. Pemilihan calon
Islam mensyaratkan beberapa ciri bagi calon suami dan
calon isteri yang dituntut dalam Islam. Namun, ini hanyalah panduan dan tidak
ada paksaan untuk mengikuti panduan-panduan ini.
Ciri-ciri bakal suami
·
beriman
& bertaqwa kepada Allah s.w.t
·
bertanggungjawab
terhadap semua benda
·
memiliki
akhlak-akhlak yang terpuji
·
berilmu
agama agar dapat membimbing calon isteri dan anak-anak ke jalan yang benar
·
rajin
bekerja untuk kebaikan rumahtangga seperti mencari rezeki yang halal untuk
kebahagiaan keluarga.
D.
Penyebab
haramnya sebuah pernikahan
·
Perempuan
yang diharamkan menikah oleh laki-laki disebabkan karena keturunannya (haram
selamanya) serta dijelaskan dalam surah an-Nisa: Ayat 23 yang berbunyi,
“Diharamkan kepada kamu menikahi ibumu, anakmu, saudaramu, anak saudara
perempuan bagi saudara laki-laki, dan anak saudara perempuan bagi saudara
perempuan.”:
·
Ibu
·
Nenek dari
ibu maupun bapak
·
Anak
perempuan & keturunannya
·
Saudara
perempuan segaris atau satu bapak atau satu ibu
·
Anak
perempuan kepada saudara lelaki mahupun perempuan, yaitu semua anak saudara
perempuan
·
Perempuan
yang diharamkan menikah oleh laki-laki disebabkan oleh susuan ialah:
·
Ibu susuan
·
Nenek dari
saudara ibu susuan
·
Saudara
perempuan susuan
·
Anak
perempuan kepada saudara susuan laki-laki atau perempuan
·
Sepupu dari
ibu susuan atau bapak susuan
·
Perempuan
muhrim bagi laki-laki karena persemendaan ialah:
·
Ibu mertua
·
Ibu tiri
·
Nenek tiri
·
Menantu
perempuan
·
Anak tiri
perempuan dan keturunannya
·
Adik ipar
perempuan dan keturunannya
·
Sepupu dari
saudara istri
·
Anak saudara
perempuan dari istri dan keturunannya
E. Peminangan
Pertunangan atau bertunang merupakan
suatu ikatan janji pihak laki-laki dan perempuan untuk melangsungkan pernikahan
mengikuti hari yang dipersetujui oleh kedua pihak. Meminangmerupakan
adat kebiasaan masyarakat Melayu yang telah dihalalkan oleh Islam. Peminangan
juga merupakan awal proses pernikahan. Hukum peminangan adalah harus dan
hendaknya bukan dari istri orang, bukan saudara sendiri, tidak dalam iddah, dan bukan
tunangan orang. Pemberian seperti cincin kepada
wanita semasa peminangan merupakan tanda ikatan pertunangan. Apabila terjadi
ingkar janji yang disebabkan oleh sang laki-laki, pemberian tidak perlu
dikembalikan dan jika disebabkan oleh wanita, maka hendaknya dikembalikan,
namun persetujuan hendaknya dibuat semasa peminangan dilakukan. Melihat calon
suami dan calon istri adalah sunat, karena tidak mau penyesalan terjadi setelah
berumahtangga. Anggota yang diperbolehkan untuk dilihat untuk seorang wanita ialah wajah dan
kedua tangannya saja.
Hadist Rasullullah
mengenai kebenaran untuk melihat tunangan dan meminang:
"Abu Hurairah RA
berkata,sabda Rasullullah SAW kepada seorang laki-laki yang hendak menikah
dengan seorang perempuan: "Apakah kamu telah melihatnya?jawabnya
tidak(kata lelaki itu kepada Rasullullah).Pergilah untuk melihatnya supaya
pernikahan kamu terjamin kekekalan." (Hadis Riwayat Tarmizi dan Nasai)
Hadis Rasullullah mengenai larangan meminang wanita yang telah bertunangan:
Hadis Rasullullah mengenai larangan meminang wanita yang telah bertunangan:
"Daripada
Ibnu Umar RA bahawa Rasullullah SAW telah bersabda: "Kamu tidak boleh
meminang tunangan saudara kamu sehingga pada akhirnya dia membuat ketetapan
untuk memutuskannya". (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim(Asy-Syaikhan)).
F.
Rukun nikah
·
Dua orang
saksi laki-laki
·
Mahar
G.
Syarat calon suami
·
Islam
·
Laki-laki
yang tertentu
·
Bukan lelaki
muhrim dengan calon istri
·
Mengetahui
wali yang sebenarnya bagi akad nikah tersebut
·
Dengan
kerelaan sendiri dan bukan paksaan
·
Tidak
mempunyai empat orang istri yang sah dalam suatu waktu
·
Mengetahui
bahwa perempuan yang hendak dinikahi adalah sah dijadikan istri
H.
Syarat bakal istri
·
Islam
·
Perempuan
yang tertentu
·
Bukan
perempuan muhrim dengan calon suami
·
Bukan
seorang banci
·
Bukan dalam
ihram haji atau umroh
·
Tidak dalam
iddah
·
Bukan istri orang
I.
Syarat wali
·
Lelaki dan
bukannya perempuan
·
Telah
pubertas
·
Dengan
kerelaan sendiri dan bukan paksaan
·
Bukan dalam
ihram haji atau umroh
·
Tidak fasik
·
Tidak cacat
akal pikiran, gila, terlalu tua dan sebagainya
·
Merdeka
·
Tidak
dibatasi kebebasannya ketimbang membelanjakan hartanya
Sebaiknya calon istri perlu memastikan syarat WAJIB
menjadi wali. Jika syarat-syarat wali terpenuhi seperti di atas maka sahlah
sebuah pernikahan itu.Sebagai seorang mukmin yang sejati, kita hendaklah
menitik beratkan hal-hal yag wajib seperti ini.Jika tidak, kita hanya akan
dianggap hidup dalam berzinahan selamanya.
Jenis-jenis
wali
·
Wali mujbir: Wali dari bapaknya sendiri atau kakek dari bapa yang
mempunyai hak mewalikan pernikahan anak perempuannya atau cucu perempuannya
dengan persetujuannya (sebaiknya perlu mendapatkan kerelaan calon istri yang
hendak dinikahkan)
·
Wali aqrab: Wali
terdekat yang telah memenuhi syarat yang layak dan berhak menjadi wali
·
Wali ab’ad: Wali yang
sedikit mengikuti susunan yang layak menjadi wali, jikalau wali aqrab berkenaan
tidak ada. Wali ab’ad ini akan digantikan oleh wali ab’ad lain dan begitulah
seterusnya mengikut susunan tersebut jika tidak ada yang terdekat lagi.
·
Wali raja/hakim: Wali yang
diberi hak atau ditunjuk oleh pemerintah atau pihak berkuasa pada negeri
tersebut oleh orang yang telah dilantik menjalankan tugas ini dengan
sebab-sebab tertentu
J.
Syarat-syarat saksi
·
Sekurang-kurangya
dua orang
·
Islam
·
Berakal
·
Telah
pubertas
·
Laki-laki
·
Memahami isi
lafal ijab dan qobul
·
Dapat
mendengar, melihat dan berbicara
·
Adil (Tidak
melakukan dosa-dosa besar dan tidak terlalu banyak melakukan dosa-dosa kecil)
·
Merdeka
K.
Syarat ijab
·
Pernikahan
nikah ini hendaklah tepat
·
Tidak boleh
menggunakan perkataan sindiran
·
Diucapkan
oleh wali atau wakilnya
·
Tidak
diikatkan dengan tempo waktu seperti mutaah(nikah kontrak atau pernikahan
(ikatan suami istri) yang sah dalam tempo tertentu seperti yang dijanjikan
dalam persetujuan nikah muataah)
·
Tidak secara
taklik(tidak ada sebutan prasyarat sewaktu ijab dilafalkan)
Contoh bacaan Ijab:Wali/wakil Wali berkata kepada
calon suami:"Aku nikahkan Anda dengan Diana Binti Daniel dengan mas
kawin berupa seperangkap alat salat dibayar tunai".
L.
Syarat qobul
·
Ucapan
mestilah sesuai dengan ucapan ijab
·
Tidak ada perkataan
sindiran
·
Dilafalkan
oleh calon suami atau wakilnya (atas sebab-sebab tertentu)
·
Tidak
diikatkan dengan tempo waktu seperti mutaah(seperti nikah kontrak)
·
Tidak secara
taklik(tidak ada sebutan prasyarat sewaktu qobul dilafalkan)
·
Menyebut
nama calon istri
·
Tidak
ditambahkan dengan perkataan lain
Contoh sebutan qabul(akan dilafazkan oleh bakal
suami):"Aku terima nikahnya dengan Diana Binti Daniel dengan mas kawin
berupa seperangkap alat salat dibayar tunai" ATAU "Aku terima Diana Binti Daniel sebagai istriku".
Setelah qobul dilafalkan Wali/wakil Wali akan mendapatkan kesaksian dari para hadirin khususnya dari dua orang saksi pernikahan dengan cara meminta saksi mengatakan lafal "SAH" atau perkataan lain yang sama maksudya dengan perkataan itu.
Selanjutnya Wali/wakil Wali akan membaca doa selamat
agar pernikahan suami istri itu kekal dan bahagia sepanjang kehidupan mereka
serta doa itu akan diAminkan oleh para hadirin
Bersamaan itu pula, mas kawin/mahar akan diserahkan
kepada pihak istri dan selanjutnya berupa cincin akan dipakaikan kepada jari
cincin istri oleh suami sebagai tanda dimulainya ikatan kekeluargaan atau
simbol pertalian kebahagian suami istri.Aktivitas ini diteruskan dengan suami
mencium istri.Aktivitas ini disebut sebagai "Pembatalan Wudhu".Ini
karena sebelum akad nikah dijalankan suami dan isteri itu diminta untuk berwudhu terlebih
dahulu.
Suami istri juga diminta untuk salat sunat nikah
sebagai tanda syukur setelah pernikahan berlangsung. Pernikahan Islam yang
memang amat mudah karena ia tidak perlu mengambil masa yang lama dan memerlukan
banyak aset-aset pernikahan disamping mas kawin,hantaran atau majelis umum
(walimatul urus)yang tidak perlu dibebankan atau dibuang.
M. Wakil wali/ Qadi
Wakil wali/Qadi adalah
orang yang dipertanggungjawabkan oleh institusi Masjid atau jabatan/pusat Islam
untuk menerima tuntutan para Wali untuk menikahkan/mengahwinkan bakal istri
dengan bakal suami.Segala urusan pernikahan,penyediaan aset pernikahan seperti
mas kawin,barangan hantaran(hadiah),penyedian tempat pernikahan,jamuan makan
kepada para hadirin dan lainnya adalah tanggungjawab pihak suami istri itu.
Qadi hanya perlu memastikan aset-aset itu telah disediakan supaya urusan
pernikahan berjalan lancar.Disamping tanggungjawabnya menikahi suami istri
berjalan dengan sempurna,Qadi perlu menyempurnakan dokumen-dokumen berkaitan
pernikahan seperti sertifikat pernikahan dan pengesahan suami istri di pihak
tertinggi seperti mentri agama dan administratif negara.Untuk memastikan status
resmi suami isteri itu sentiasa sulit dan terpelihara.Qadi selalunya dilantik
dari kalangan orang-orang alim(yang mempunyai pengetahuan dalam agama Islam
dengan luas) seperti Ustaz,Muallim,Mufti,Sheikh ulIslam dan sebagainya.Qadi
juga mesti merupakan seorang laki-laki Islam yang sudah merdeka dan telah
pubertas.
N.
Malam Pertama Dan Adab Bersenggama
Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Malam Pertama Dan Adab Bersenggama
Saat pertama kali pengantin pria menemui isterinya setelah aqad nikah, dianjurkan melakukan beberapa hal, sebagai berikut:
Pertama: Pengantin pria hendaknya meletakkan tangannya pada ubun-ubun isterinya seraya mendo’akan baginya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Apabila salah seorang dari kamu menikahi wanita atau membeli seorang budak maka peganglah ubun-ubunnya lalu bacalah ‘basmalah’ serta do’akanlah dengan do’a berkah seraya mengucapkan: ‘Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiatnya yang ia bawa. Dan aku berlindung dari kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa.’”
Kedua: Hendaknya ia mengerjakan shalat sunnah dua raka’at bersama isterinya.
Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata: “Hal itu telah ada sandarannya dari ulama Salaf (Shahabat dan Tabi’in).
1. Hadits dari Abu Sa’id maula (budak yang telah dimerdekakan) Abu Usaid.
Ia berkata: “Aku menikah ketika aku masih seorang budak. Ketika itu aku mengundang beberapa orang Shahabat Nabi, di antaranya ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu Dzarr dan Hudzaifah radhiyallaahu ‘anhum. Lalu tibalah waktu shalat, Abu Dzarr bergegas untuk mengimami shalat. Tetapi mereka berkata: ‘Kamulah (Abu Sa’id) yang berhak!’ Ia (Abu Dzarr) berkata: ‘Apakah benar demikian?’ ‘Benar!’ jawab mereka. Aku pun maju mengimami mereka shalat. Ketika itu aku masih seorang budak. Selanjutnya mereka mengajariku, ‘Jika isterimu nanti datang menemuimu, hendaklah kalian berdua shalat dua raka’at. Lalu mintalah kepada Allah kebaikan isterimu itu dan mintalah perlindungan kepada-Nya dari keburukannya. Selanjutnya terserah kamu berdua...!’”
2. Hadits dari Abu Waail.
Ia berkata, “Seseorang datang kepada ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, lalu ia berkata, ‘Aku menikah dengan seorang gadis, aku khawatir dia membenciku.’ ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Sesungguhnya cinta berasal dari Allah, sedangkan kebencian berasal dari syaitan, untuk membenci apa-apa yang dihalalkan Allah. Jika isterimu datang kepadamu, maka perintahkanlah untuk melaksanakan shalat dua raka’at di belakangmu. Lalu ucapkanlah (berdo’alah):
“Ya Allah, berikanlah keberkahan kepadaku dan isteriku, serta berkahilah mereka dengan sebab aku. Ya Allah, berikanlah rizki kepadaku lantaran mereka, dan berikanlah rizki kepada mereka lantaran aku. Ya Allah, satukanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan dan pisahkanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan.”
Ketiga: Bercumbu rayu dengan penuh kelembutan dan kemesraan. Misalnya dengan memberinya segelas air minum atau yang lainnya.
Hal ini berdasarkan hadits Asma’ binti Yazid binti as-Sakan radhiyallaahu ‘anha, ia berkata: “Saya merias ‘Aisyah untuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu saya datangi dan saya panggil beliau supaya menghadiahkan sesuatu kepada ‘Aisyah. Beliau pun datang lalu duduk di samping ‘Aisyah. Ketika itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam disodori segelas susu. Setelah beliau minum, gelas itu beliau sodorkan kepada ‘Aisyah. Tetapi ‘Aisyah menundukkan kepalanya dan malu-malu.” ‘Asma binti Yazid berkata: “Aku menegur ‘Aisyah dan berkata kepadanya, ‘Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam!’ Akhirnya ‘Aisyah pun meraih gelas itu dan meminum isinya sedikit.”
Keempat: Berdo’a sebelum jima’ (bersenggama), yaitu ketika seorang suami hendak menggauli isterinya, hendaklah ia membaca do’a:
“Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah aku dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari anak yang akan Engkau karuniakan kepada kami.”
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maka, apabila Allah menetapkan lahirnya seorang anak dari hubungan antara keduanya, niscaya syaitan tidak akan membahayakannya selama-lamanya.”
Kelima: Suami boleh menggauli isterinya dengan cara bagaimana pun yang disukainya asalkan pada kemaluannya.
Allah Ta’ala berfirman:
"Artinya : Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangi-lah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang beriman.” [Al-Baqarah : 223]
Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Pernah suatu ketika ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu datang kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, celaka saya.’ Beliau bertanya, ‘Apa yang membuatmu celaka?’ ‘Umar menjawab, ‘Saya membalikkan pelana saya tadi malam.’ Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan komentar apa pun, hingga turunlah ayat kepada beliau:
"Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai...” [Al-Baqarah : 223]
Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Setubuhilah isterimu dari arah depan atau dari arah belakang, tetapi hindarilah (jangan engkau menyetubuhinya) di dubur dan ketika sedang haidh".
Juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
"Silahkan menggaulinya dari arah depan atau dari belakang asalkan pada kemaluannya".
Seorang Suami Dianjurkan Mencampuri Isterinya Kapan Waktu Saja
• Apabila suami telah melepaskan hajat biologisnya, janganlah ia tergesa-gesa bangkit hingga isterinya melepaskan hajatnya juga. Sebab dengan cara seperti itu terbukti dapat melanggengkan keharmonisan dan kasih sayang antara keduanya. Apabila suami mampu dan ingin mengulangi jima’ sekali lagi, maka hendaknya ia berwudhu’ terlebih dahulu.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Jika seseorang diantara kalian menggauli isterinya kemudian ingin mengulanginya lagi, maka hendaklah ia berwudhu’ terlebih dahulu.”
• Yang afdhal (lebih utama) adalah mandi terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Rafi' radhi-yallaahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menggilir isteri-isterinya dalam satu malam. Beliau mandi di rumah fulanah dan rumah fulanah. Abu Rafi' berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa tidak dengan sekali mandi saja?” Beliau menjawab.
"Ini lebih bersih, lebih baik dan lebih suci.”
• Seorang suami dibolehkan jima’ (mencampuri) isterinya kapan waktu saja yang ia kehendaki; pagi, siang, atau malam. Bahkan, apabila seorang suami melihat wanita yang mengagumkannya, hendaknya ia mendatangi isterinya. Hal ini berdasarkan riwayat bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melihat wanita yang mengagumkan beliau. Kemudian beliau mendatangi isterinya -yaitu Zainab radhiyallaahu ‘anha- yang sedang membuat adonan roti. Lalu beliau melakukan hajatnya (berjima’ dengan isterinya). Kemu-dian beliau bersabda,
"Sesungguhnya wanita itu menghadap dalam rupa syaitan dan membelakangi dalam rupa syaitan. Maka, apabila seseorang dari kalian melihat seorang wanita (yang mengagumkan), hendaklah ia mendatangi isterinya. Karena yang demikian itu dapat menolak apa yang ada di dalam hatinya.”
Imam an-Nawawi rahimahullaah berkata : “ Dianjurkan
bagi siapa yang melihat wanita hingga syahwatnya tergerak agar segera
mendatangi isterinya - atau budak perempuan yang dimilikinya -kemudian
menggaulinya untuk meredakan syahwatnya juga agar jiwanya menjadi tenang.”
Akan tetapi, ketahuilah saudara yang budiman, bahwasanya menahan pandangan itu wajib hukumnya, karena hadits tersebut berkenaan dan berlaku untuk pandangan secara tiba-tiba.
Allah Ta’ala berfirman:
"“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat” .[An-Nuur : 30]
Dari Abu Buraidah, dari ayahnya radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ber-sabda kepada ‘Ali.
"Wahai ‘Ali, janganlah engkau mengikuti satu pandangan pandangan lainnya karena yang pertama untukmu dan yang kedua bukan untukmu”.
• Haram menyetubuhi isteri pada duburnya dan haram menyetubuhi isteri ketika ia sedang haidh/ nifas.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
"Artinya : Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haidh. Katakanlah, ‘Itu adalah sesuatu yang kotor.’ Karena itu jauhilah isteri pada waktu haidh; dan janganlah kamu dekati sebelum mereka suci.
Akan tetapi, ketahuilah saudara yang budiman, bahwasanya menahan pandangan itu wajib hukumnya, karena hadits tersebut berkenaan dan berlaku untuk pandangan secara tiba-tiba.
Allah Ta’ala berfirman:
"“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat” .[An-Nuur : 30]
Dari Abu Buraidah, dari ayahnya radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ber-sabda kepada ‘Ali.
"Wahai ‘Ali, janganlah engkau mengikuti satu pandangan pandangan lainnya karena yang pertama untukmu dan yang kedua bukan untukmu”.
• Haram menyetubuhi isteri pada duburnya dan haram menyetubuhi isteri ketika ia sedang haidh/ nifas.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
"Artinya : Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haidh. Katakanlah, ‘Itu adalah sesuatu yang kotor.’ Karena itu jauhilah isteri pada waktu haidh; dan janganlah kamu dekati sebelum mereka suci.
Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai
dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai
orang yang bertaubat dan mensucikan diri.” [Al-Baqarah : 222]
Juga sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
"Barangsiapa yang menggauli isterinya yang sedang haidh, atau menggaulinya pada duburnya, atau mendatangi dukun, maka ia telah kafir terhadap ajaran yang telah diturunkan kepada Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.”
Juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
"Dilaknat orang yang menyetubuhi isterinya pada duburnya.”
• Kaffarat bagi suami yang menggauli isterinya yang sedang haidh.
Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata, “Barangsiapa yang dikalahkan oleh hawa nafsunya lalu menyetubuhi isterinya yang sedang haidh sebelum suci dari haidhnya, maka ia harus bershadaqah dengan setengah pound emas Inggris, kurang lebihnya atau seperempatnya. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang orang yang menggauli isterinya yang sedang haidh. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
"Hendaklah ia bershadaqah dengan satu dinar atau setengah dinar.’”
• Apabila seorang suami ingin bercumbu dengan isterinya yang sedang haidh, ia boleh bercumbu dengannya selain pada kemaluannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
"Lakukanlah apa saja kecuali nikah (jima'/ bersetubuh).”
• Apabila suami atau isteri ingin makan atau tidur setelah jima’ (bercampur), hendaklah ia mencuci kemaluannya dan berwudhu' terlebih dahulu, serta mencuci kedua tangannya. Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila beliau hendak tidur dalam keadaan junub, maka beliau berwudhu' seperti wudhu' untuk shalat. Dan apabila beliau hendak makan atau minum dalam keadaan junub, maka beliau mencuci kedua tangannya kemudian beliau makan dan minum.”
Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia berkata,
"Apabila Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hendak tidur dalam keadaan junub, beliau mencuci kemaluannya dan berwudhu’ (seperti wudhu') untuk shalat.”
• Sebaiknya tidak bersenggama dalam keadaan sangat lapar atau dalam keadaan sangat kenyang, karena dapat membahayakan kesehatan.
• Suami isteri dibolehkan mandi bersama dalam satu tempat, dan suami isteri dibolehkan saling melihat aurat masing-masing.
Adapun riwayat dari ‘Aisyah yang mengatakan bahwa ‘Aisyah tidak pernah melihat aurat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah riwayat yang bathil, karena di dalam sanadnya ada seorang pendusta.
• Haram hukumnya menyebarkan rahasia rumah tangga dan hubungan suami isteri.
Setiap suami maupun isteri dilarang menyebarkan rahasia rumah tangga dan rahasia ranjang mereka. Hal ini dilarang oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, orang yang menyebarkan rahasia hubungan suami isteri adalah orang yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya pada hari Kiamat adalah laki-laki yang bersenggama dengan isterinya dan wanita yang bersenggama dengan suaminya kemudian ia menyebarkan rahasia isterinya.”
Dalam hadits lain yang shahih, disebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan kalian lakukan (menceritakan hubungan suami isteri). Perumpamaannya seperti syaitan laki-laki yang berjumpa dengan syaitan perempuan di jalan lalu ia menyetubuhinya (di tengah jalan) dilihat oleh orang banyak…”
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah berkata, “Apa yang dilakukan sebagian wanita berupa membeberkan maslah rumah tangga dan kehidupan suami isteri kepada karib kerabat atau kawan adalah perkara yang diharamkan. Tidak halal seorang isteri menyebarkan rahasia rumah tangga atau keadaannya bersama suaminya kepada seseorang.
Allah Ta’ala berfirman:
"Artinya : “Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).” [An-Nisaa' : 34]
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat adalah laki-laki yang bersenggama dengan isterinya dan wanita yang bersenggama dengan suaminya, kemudian ia menyebarkan rahasia pasangannya".
Juga sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
"Barangsiapa yang menggauli isterinya yang sedang haidh, atau menggaulinya pada duburnya, atau mendatangi dukun, maka ia telah kafir terhadap ajaran yang telah diturunkan kepada Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.”
Juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
"Dilaknat orang yang menyetubuhi isterinya pada duburnya.”
• Kaffarat bagi suami yang menggauli isterinya yang sedang haidh.
Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata, “Barangsiapa yang dikalahkan oleh hawa nafsunya lalu menyetubuhi isterinya yang sedang haidh sebelum suci dari haidhnya, maka ia harus bershadaqah dengan setengah pound emas Inggris, kurang lebihnya atau seperempatnya. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang orang yang menggauli isterinya yang sedang haidh. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
"Hendaklah ia bershadaqah dengan satu dinar atau setengah dinar.’”
• Apabila seorang suami ingin bercumbu dengan isterinya yang sedang haidh, ia boleh bercumbu dengannya selain pada kemaluannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
"Lakukanlah apa saja kecuali nikah (jima'/ bersetubuh).”
• Apabila suami atau isteri ingin makan atau tidur setelah jima’ (bercampur), hendaklah ia mencuci kemaluannya dan berwudhu' terlebih dahulu, serta mencuci kedua tangannya. Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila beliau hendak tidur dalam keadaan junub, maka beliau berwudhu' seperti wudhu' untuk shalat. Dan apabila beliau hendak makan atau minum dalam keadaan junub, maka beliau mencuci kedua tangannya kemudian beliau makan dan minum.”
Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia berkata,
"Apabila Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hendak tidur dalam keadaan junub, beliau mencuci kemaluannya dan berwudhu’ (seperti wudhu') untuk shalat.”
• Sebaiknya tidak bersenggama dalam keadaan sangat lapar atau dalam keadaan sangat kenyang, karena dapat membahayakan kesehatan.
• Suami isteri dibolehkan mandi bersama dalam satu tempat, dan suami isteri dibolehkan saling melihat aurat masing-masing.
Adapun riwayat dari ‘Aisyah yang mengatakan bahwa ‘Aisyah tidak pernah melihat aurat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah riwayat yang bathil, karena di dalam sanadnya ada seorang pendusta.
• Haram hukumnya menyebarkan rahasia rumah tangga dan hubungan suami isteri.
Setiap suami maupun isteri dilarang menyebarkan rahasia rumah tangga dan rahasia ranjang mereka. Hal ini dilarang oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, orang yang menyebarkan rahasia hubungan suami isteri adalah orang yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya pada hari Kiamat adalah laki-laki yang bersenggama dengan isterinya dan wanita yang bersenggama dengan suaminya kemudian ia menyebarkan rahasia isterinya.”
Dalam hadits lain yang shahih, disebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan kalian lakukan (menceritakan hubungan suami isteri). Perumpamaannya seperti syaitan laki-laki yang berjumpa dengan syaitan perempuan di jalan lalu ia menyetubuhinya (di tengah jalan) dilihat oleh orang banyak…”
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah berkata, “Apa yang dilakukan sebagian wanita berupa membeberkan maslah rumah tangga dan kehidupan suami isteri kepada karib kerabat atau kawan adalah perkara yang diharamkan. Tidak halal seorang isteri menyebarkan rahasia rumah tangga atau keadaannya bersama suaminya kepada seseorang.
Allah Ta’ala berfirman:
"Artinya : “Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).” [An-Nisaa' : 34]
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat adalah laki-laki yang bersenggama dengan isterinya dan wanita yang bersenggama dengan suaminya, kemudian ia menyebarkan rahasia pasangannya".
O. waktu yang tepat untuk melakukan
pernikahan
pernikahan. Mesti
kami beritahukan sebelumnya bahwa tak ada saat-saat atau hari-hari tertentu
yang harus dijadikan pertimbangan untuk melangsungkan pernikahan. Begitu pula
dengan hari buruk untuk menikah. Semua hari dalam setahun baik untuk menikah.
Adapun anggapan tentang hari buruk dan hari baik untuk menikah merupakan bawaan dari zaman jahiliyah. Bangsa Arab Jahiliyah dulunya enggan melakukan perkawinan di bulan syawal, lantaran di dalam nama Syawal terkandung makna “terangkat”.
Namun, Aisyah ra, sebagaimana yang tertera dalam Shahih Muslim menuturkan,
“Rasulullah saw menikahiku di bulan syawal , dan berkumpul denganku di bulan syawal. Tidak ada istri-istri beliau yang seberuntung aku”
Adapun anggapan tentang hari buruk dan hari baik untuk menikah merupakan bawaan dari zaman jahiliyah. Bangsa Arab Jahiliyah dulunya enggan melakukan perkawinan di bulan syawal, lantaran di dalam nama Syawal terkandung makna “terangkat”.
Namun, Aisyah ra, sebagaimana yang tertera dalam Shahih Muslim menuturkan,
“Rasulullah saw menikahiku di bulan syawal , dan berkumpul denganku di bulan syawal. Tidak ada istri-istri beliau yang seberuntung aku”

Oleh karena itu, Aisyah sangat merekomendasikan kepada wanita-wanita untuk
melakukan pernikahan di bulan syawal agar tidak menyamai masyarakat Jahiliyah.
Sebagian besar umat muslim biasanya enggan untuk menikah di bulan ramadhan demi menjaga kewajiban puasa. Mereka khawatir jika kedua pengantin ditaklukkan oleh syahwat di siang hari. Ini hanyalah kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, bukan ajaran yang digariskan oleh agama. Intinya tipa orang harus mengetahui kapasitas dan potensi diri masing-
Sebagian besar umat muslim biasanya enggan untuk menikah di bulan ramadhan demi menjaga kewajiban puasa. Mereka khawatir jika kedua pengantin ditaklukkan oleh syahwat di siang hari. Ini hanyalah kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, bukan ajaran yang digariskan oleh agama. Intinya tipa orang harus mengetahui kapasitas dan potensi diri masing-
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan diatas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut :
1. Perkawinan dalam islam adalah suatu akad atau suatu perjanjian yang mengikat antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang tujuannya adalah untuk menghalalkan hubungan kelamin antara seorang laki-laki dan perempuan secara suka rela.
2. Hukum perkawinan menurut pandangan islam yaitu Wajib, Sunat, Wajib, Makruh dan Haram.
3. Tujuan dan hikmah perkawinan dalam pandangan islam yaitu Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi, Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur, Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami, Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah serta Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih.
4. Cara –cara perkawinan yang sah menurut hokum islam yaitu Khitbah (Peminangan), Aqad Nikah dan Walimah.
Berdasarkan hasil pembahasan diatas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut :
1. Perkawinan dalam islam adalah suatu akad atau suatu perjanjian yang mengikat antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang tujuannya adalah untuk menghalalkan hubungan kelamin antara seorang laki-laki dan perempuan secara suka rela.
2. Hukum perkawinan menurut pandangan islam yaitu Wajib, Sunat, Wajib, Makruh dan Haram.
3. Tujuan dan hikmah perkawinan dalam pandangan islam yaitu Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi, Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur, Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami, Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah serta Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih.
4. Cara –cara perkawinan yang sah menurut hokum islam yaitu Khitbah (Peminangan), Aqad Nikah dan Walimah.
B. Saran
Semoga orang-orang yang
siap menikah terlebih dahulu mencari pengetahuan sedikit tentang tata cara
menikah yang baik, sehingga pada saat menikah nanti mereka tidak bingung apa
yang dilakukan dan apa yang harus diperbuat.
DAFTAR
PUSTAKA
Achmad
Kuzari, 1995. Nikah Sebagai Perikatan. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Al-Hamdani,
2002. Risalah an-Nikah. Pustaka Amani: Jakarta.
Dewantoro Sulaiman, SE, Agenda Pengantin, Hidayatul
Insan, Solo, 2002
Al-Hamdani, Risalah an-Nikah, Pustaka Amani: Jakarta. 2002
Al-Hamdani, Risalah an-Nikah, Pustaka Amani: Jakarta. 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar