Sabtu, 25 Mei 2013

REVISI PAI


KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan ke-hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat dan karunia-Nyalah, makalah ini dapat terselesaikan dengan baik, tepat pada waktunya. Adapun  tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Dasar Umum, pada semester II, di tahun ajaran 2013, dengan judul makalah tentang “Pernikahan” menurut pandangan islam”.
Dengan membuat tugas ini kami diharapkan mampu untuk lebih mengenal tentang cara untuk menikah yang baik, yang merupakan tata cara untuk menikah yang baik menurut pandangan islam.
Dalam penyelesaian makalah ini, kami banyak mengalami kesulitan, terutama disebabkan oleh kurangnya ilmu pengetahuan yang menunjang. Namun, berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya makalah ini dapat terselesaikan dengan cukup baik. Karena itu, sudah sepantasnya jika kami mengucapkan terima kasih kepada:
  1. Bpk Dr. H. Fahrudin, M.Ag, yang tidak lelah dan bosan untuk memberikan arahan dan bimbingan kepada kami setiap saat.
  2. Orang Tua dan keluarga kami tercinta yang banyak memberikan motivasi dan dorongan serta bantuan, baik secara moral maupun spiritual.
Kami sadar, sebagai seorang mahasiswa yang masih dalam proses pembelajaran, penulisan makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna penulisan makalah ini yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.
Harapan kami, semoga makalah yang sederhana ini, dapat memberi kesadaran tersendiri bagi golongan yang telah siap menikah.



Bandung, 19 Mei 2013


Penulis


DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR..........................................................................         1
DAFTAR ISI........................................................................................          2
BAB I. PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.............................................................................           3
B.     Rumusan Masalah........................................................................          4         
C.    Tujuan dan Manfaat......................................................................         
BAB II. PEMBAHASAN
A.    Defini Pernikahan....................................................................................                5
B.     Hukum Pernikahan..................................................................................                5
C.     Cara Pemilihan calon..............................................................................  6
D.    Penyebab haramnya sebuah pernikahan...............................................     6
E.     Peminangan............................................................................................. 7             
F.       Rukun nikah........................................................................................... 8                         
G.    Syarat calon suami.................................................................................. 8
H.    Syarat bakal istri.....................................................................................  8
I.       Syarat wali.............................................................................................. 8
J.       Syarat-syarat saksi.................................................................................   9
K.     Ijab..........................................................................................................                10
L.      Qobul............................................................................................          10
M.   Wakil wali.....................................................................................           11
N.     Malam pertama dan adab bersenggama............................................        11
O.    Waktu yang tepat untuk melakukan pernikahan.............................................................................................      16


BAB III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan ..................................................................................            17
3.2 Saran ............................................................................................            17
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................           18









BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Pernikahan merupakan sunnah Rasul yang disyari’atkan sebagai sebuah keniscayaan fitrah kemanusiaan. Pernikahan, sebagai ikatan lahir bathin antara seorang laki-laki dan perempuan dimaksudkan untuk membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahma dengan demikian hubungan antara laki-laki dan perempuan akan kuat dan memenuhi hukum legal-formal, baik dalam perspektif agama maupun masyarakat (negara), apabila telah melakukan pernikahan sehingga sesuatu yang belum menikah dilarang, seperti hubungan seksual dan hidup serumah, menjadi boleh dan sah.
            Hanya saja dalam pernikahan, di samping ada syarat dan rukun yang mempengaruhi sah tidaknya sebuah pernikahan, terdapat pula aturan lain yang terdapat dalam literatur kitab-kitab fiqih klasik, yang di antaranya adalah konsep kafah, yakni kesepadanan antara calon mempelai pria dan wanita dalam berbagai hal termasuk agama, keturunan dan keilmuan.
Dalam usaha meleburkan suatu bentuk hukum dalam dunia hukum Islam Indonesia. Tentunya kita ingin mengetahui lebih dalam darimana asal konsep hukum yang diadopsi oleh Departemen Agama RI tersebut yang kemudian menjadi produk hukum yang lazim disebut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, dan diantara materi bahasannya adalah rukun dan syarat perkawinan yang akan coba kita pelajari perbandingannya dengan fikih munakahat.
Terpenuhinya syarat dan rukun suatu perkawinan, mengakibatkan diakuinya keabsahan perkawinan tersebut baik menurut hukum agama/fikih munakahat atau pemerintah (Kompilasi Hukum Islam).Bila salah satu syarat atau rukun tersebut tidak terpenuhi maka mengakibatkan tidak sahnya perkawinan menurut fikih munakahat atau Kompilasi Hukum Islam, menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan salah satunya.
Berawal dari garis perbandingan antara kedua produk hukum tersebut, pemakalah mencoba membahas perbandingan antara keduanya sehingga dapat diketahui lebih dalam hubungan antara keduanya.







B.   Rumusan Masalah
1.      Apa itu pernikahan
2.      Apa  Hukum Pernikahan?
3.      Bagaimana cara Pemilihan calon?
4.      Apa Penyebab haramnya sebuah pernikahan?
5.      Bagaimana cara untuk melakukan sebuah Peminangan?
6.      Apa saja yang mendasari Rukun nikah ?
7.      Syarat apa saja yang harus dipenuhi ketika menjadi calon suami?
8.      Syarat apa saja yang harus dipenuhi ketika menjadi bakal istri?
9.      Syarat apa saja yang harus dipenuhi ketika menjadi wali?
10.  Syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi ketika menjadi saksi?
11.  Syarat apa saja yang harus dipenuhi ketika melakukan ijab dan qobul?
12.  Apa yang harus dilakukan pada saat malam pertama dan adab bersenggama?
13.  Kapan waktu yang tepat untuk melakukan pernikahan?

14.                        Tujuan Makalah
1.      Untuk mengetahui pengertian pernikahan
2.      Untuk mengetahui hukum pernikahan
3.      Untuk mengetahuu bagaimana cara pemilihan calon yang baik
4.      Untuk mengatahui apa saja yang mengaharamakan sebuah pernikahan
5.       untuk mengetahui bagaimana cara peminangan
6.      Untuk mengetahui rukun nikah
7.      Untuk mengatahui syarat apa saja yang harus dipenuhi ketika menjadi calon suami
8.      Untuk mengatahui syarat apa saja yang harus dipenuhi ketika menjadi bakal istri
9.      Untuk mengatahui syarat apa saja yang harus dipenuhi ketika menjadi wali
10.  Untuk mengatahui syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi ketika menjadi saksi
11.  Untuk mengatahui syarat apa saja yang harus dipenuhi ketika melakukan ijab
12.  Untuk mengatahui syarat apa saja yang harus dipenuhi ketika melakukan qobul
13.   untuk mengatahui apa yang harus dilakukan pada saat malam pertama dan adab bersenggama
14.  Untuk mengatahui kapan waktu yang tepat untuk melakukan pernikahan








BAB II

PEMBAHASAN


A.    Pengertian Nikah
Pernikahan atau adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinansecara norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi menurut tradisi suku bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial. Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula.
Pengesahan secara hukum suatu pernikahan biasanya terjadi pada saat dokumen tertulis yang mencatatkan pernikahan ditanda-tangani. Upacara pernikahansendiri biasanya merupakan acara yang dilangsungkan untuk melakukan upacara berdasarkan adat-istiadat yang berlaku, dan kesempatan untuk merayakannya bersama teman dan keluarga. Wanita dan pria yang sedang melangsungkan pernikahan dinamakan pengantin, dan setelah upacaranya selesai kemudian mereka dinamakan suami dan istri dalam ikatan perkawinan.
Pernikahan atau nikah artinya adalah terkumpul dan menyatu. Menurut istilah lain juga dapat berarti Ijab Qobul (akad nikah) yang mengharuskan perhubungan antara sepasang manusia yang diucapkan oleh kata-kata yang ditujukan untuk melanjutkan ke pernikahan, sesusai peraturan yang diwajibkan oleh Islam[1]. Kata zawaj digunakan dalam al-Quran artinya adalah pasangan yang dalam penggunaannya pula juga dapat diartikan sebagai pernikahan, Allahs.w.t. menjadikan manusia itu saling berpasangan, menghalalkan pernikahan dan mengharamkan zina.
B.    Hukum Pernikahan
·         Cara yang halal dan suci untuk menyalurkan nafsu syahwat melalui ini selain lewat perzinahan, pelacuran, dan lain sebagainya yang dibenci Allah dan amat merugikan.
·         Untuk memperoleh ketenangan hidup, kasih sayang dan ketenteraman
·         Memelihara kesucian diri
·         Melaksanakan tuntutan syariat
·         Membuat keturunan yang berguna bagi agama, bangsa dan negara.
·         Sebagai media pendidikan: Islam begitu teliti dalam menyediakan lingkungan yang sehat untuk membesarkan anak-anak. Anak-anak yang dibesarkan tanpa orangtua akan memudahkan untuk membuat sang anak terjerumus dalam kegiatan tidak bermoral. Oleh karena itu, institusi kekeluargaan yang direkomendasikan Islam terlihat tidak terlalu sulit serta sesuai sebagai petunjuk dan pedoman pada anak-anak.
·         Mewujudkan kerjasama dan tanggungjawab
·         Dapat mengeratkan silaturahim
C.    Pemilihan calon
Islam mensyaratkan beberapa ciri bagi calon suami dan calon isteri yang dituntut dalam Islam. Namun, ini hanyalah panduan dan tidak ada paksaan untuk mengikuti panduan-panduan ini.

Ciri-ciri bakal suami
·         beriman & bertaqwa kepada Allah s.w.t
·         bertanggungjawab terhadap semua benda
·         memiliki akhlak-akhlak yang terpuji
·         berilmu agama agar dapat membimbing calon isteri dan anak-anak ke jalan yang benar
·         tidak berpenyakit yang berat seperti gila, AIDS dan sebagainya
·         rajin bekerja untuk kebaikan rumahtangga seperti mencari rezeki yang halal untuk kebahagiaan keluarga.
D.    Penyebab haramnya sebuah pernikahan
·         Perempuan yang diharamkan menikah oleh laki-laki disebabkan karena keturunannya (haram selamanya) serta dijelaskan dalam surah an-Nisa: Ayat 23 yang berbunyi, “Diharamkan kepada kamu menikahi ibumu, anakmu, saudaramu, anak saudara perempuan bagi saudara laki-laki, dan anak saudara perempuan bagi saudara perempuan.”:
·         Ibu
·         Nenek dari ibu maupun bapak
·         Anak perempuan & keturunannya
·         Saudara perempuan segaris atau satu bapak atau satu ibu
·         Anak perempuan kepada saudara lelaki mahupun perempuan, yaitu semua anak saudara perempuan
·         Perempuan yang diharamkan menikah oleh laki-laki disebabkan oleh susuan ialah:
·         Ibu susuan
·         Nenek dari saudara ibu susuan
·         Saudara perempuan susuan
·         Anak perempuan kepada saudara susuan laki-laki atau perempuan
·         Sepupu dari ibu susuan atau bapak susuan

·         Perempuan muhrim bagi laki-laki karena persemendaan ialah:
·         Ibu mertua
·         Ibu tiri
·         Nenek tiri
·         Menantu perempuan
·         Anak tiri perempuan dan keturunannya
·         Adik ipar perempuan dan keturunannya
·         Sepupu dari saudara istri
·         Anak saudara perempuan dari istri dan keturunannya
E.     Peminangan
Pertunangan atau bertunang merupakan suatu ikatan janji pihak laki-laki dan perempuan untuk melangsungkan pernikahan mengikuti hari yang dipersetujui oleh kedua pihak. Meminangmerupakan adat kebiasaan masyarakat Melayu yang telah dihalalkan oleh Islam. Peminangan juga merupakan awal proses pernikahan. Hukum peminangan adalah harus dan hendaknya bukan dari istri orang, bukan saudara sendiri, tidak dalam iddah, dan bukan tunangan orang. Pemberian seperti cincin kepada wanita semasa peminangan merupakan tanda ikatan pertunangan. Apabila terjadi ingkar janji yang disebabkan oleh sang laki-laki, pemberian tidak perlu dikembalikan dan jika disebabkan oleh wanita, maka hendaknya dikembalikan, namun persetujuan hendaknya dibuat semasa peminangan dilakukan. Melihat calon suami dan calon istri adalah sunat, karena tidak mau penyesalan terjadi setelah berumahtangga. Anggota yang diperbolehkan untuk dilihat untuk seorang wanita ialah wajah dan kedua tangannya saja.
Hadist Rasullullah mengenai kebenaran untuk melihat tunangan dan meminang:
"Abu Hurairah RA berkata,sabda Rasullullah SAW kepada seorang laki-laki yang hendak menikah dengan seorang perempuan: "Apakah kamu telah melihatnya?jawabnya tidak(kata lelaki itu kepada Rasullullah).Pergilah untuk melihatnya supaya pernikahan kamu terjamin kekekalan." (Hadis Riwayat Tarmizi dan Nasai)
Hadis Rasullullah mengenai larangan meminang wanita yang telah bertunangan:
"Daripada Ibnu Umar RA bahawa Rasullullah SAW telah bersabda: "Kamu tidak boleh meminang tunangan saudara kamu sehingga pada akhirnya dia membuat ketetapan untuk memutuskannya". (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim(Asy-Syaikhan)).





F.      Rukun nikah
·         Pengantin laki-laki
·         Pengantin perempuan
·         Wali
·         Dua orang saksi laki-laki
·         Mahar
·         Ijab dan kabul (akad nikah)

G.    Syarat calon suami
·         Islam
·         Laki-laki yang tertentu
·         Bukan lelaki muhrim dengan calon istri
·         Mengetahui wali yang sebenarnya bagi akad nikah tersebut
·         Bukan dalam ihram haji atau umroh
·         Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
·         Tidak mempunyai empat orang istri yang sah dalam suatu waktu
·         Mengetahui bahwa perempuan yang hendak dinikahi adalah sah dijadikan istri

H.    Syarat bakal istri
·         Islam
·         Perempuan yang tertentu
·         Bukan perempuan muhrim dengan calon suami
·         Bukan seorang banci
·         Bukan dalam ihram haji atau umroh
·         Tidak dalam iddah
·         Bukan istri orang

I.        Syarat wali
·         Islam, bukan kafir dan murtad
·         Lelaki dan bukannya perempuan
·         Telah pubertas
·         Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
·         Bukan dalam ihram haji atau umroh
·         Tidak fasik
·         Tidak cacat akal pikiran, gila, terlalu tua dan sebagainya
·         Merdeka
·         Tidak dibatasi kebebasannya ketimbang membelanjakan hartanya
Sebaiknya calon istri perlu memastikan syarat WAJIB menjadi wali. Jika syarat-syarat wali terpenuhi seperti di atas maka sahlah sebuah pernikahan itu.Sebagai seorang mukmin yang sejati, kita hendaklah menitik beratkan hal-hal yag wajib seperti ini.Jika tidak, kita hanya akan dianggap hidup dalam berzinahan selamanya.
Jenis-jenis wali
·         Wali mujbir: Wali dari bapaknya sendiri atau kakek dari bapa yang mempunyai hak mewalikan pernikahan anak perempuannya atau cucu perempuannya dengan persetujuannya (sebaiknya perlu mendapatkan kerelaan calon istri yang hendak dinikahkan)
·         Wali aqrab: Wali terdekat yang telah memenuhi syarat yang layak dan berhak menjadi wali
·         Wali ab’ad: Wali yang sedikit mengikuti susunan yang layak menjadi wali, jikalau wali aqrab berkenaan tidak ada. Wali ab’ad ini akan digantikan oleh wali ab’ad lain dan begitulah seterusnya mengikut susunan tersebut jika tidak ada yang terdekat lagi.
·         Wali raja/hakim: Wali yang diberi hak atau ditunjuk oleh pemerintah atau pihak berkuasa pada negeri tersebut oleh orang yang telah dilantik menjalankan tugas ini dengan sebab-sebab tertentu

J.       Syarat-syarat saksi
·         Sekurang-kurangya dua orang
·         Islam
·         Berakal
·         Telah pubertas
·         Laki-laki
·         Memahami isi lafal ijab dan qobul
·         Dapat mendengar, melihat dan berbicara
·         Adil (Tidak melakukan dosa-dosa besar dan tidak terlalu banyak melakukan dosa-dosa kecil)
·         Merdeka



K.    Syarat ijab
·         Pernikahan nikah ini hendaklah tepat
·         Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran
·         Diucapkan oleh wali atau wakilnya
·         Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mutaah(nikah kontrak atau pernikahan (ikatan suami istri) yang sah dalam tempo tertentu seperti yang dijanjikan dalam persetujuan nikah muataah)
·         Tidak secara taklik(tidak ada sebutan prasyarat sewaktu ijab dilafalkan)
Contoh bacaan Ijab:Wali/wakil Wali berkata kepada calon suami:"Aku nikahkan Anda dengan Diana Binti Daniel dengan mas kawin berupa seperangkap alat salat dibayar tunai".
L.     Syarat qobul
·         Ucapan mestilah sesuai dengan ucapan ijab
·         Tidak ada perkataan sindiran
·         Dilafalkan oleh calon suami atau wakilnya (atas sebab-sebab tertentu)
·         Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mutaah(seperti nikah kontrak)
·         Tidak secara taklik(tidak ada sebutan prasyarat sewaktu qobul dilafalkan)
·         Menyebut nama calon istri
·         Tidak ditambahkan dengan perkataan lain
Contoh sebutan qabul(akan dilafazkan oleh bakal suami):"Aku terima nikahnya dengan Diana Binti Daniel dengan mas kawin berupa seperangkap alat salat dibayar tunai" ATAU "Aku terima Diana Binti Daniel sebagai istriku".

Setelah qobul dilafalkan Wali/wakil Wali akan mendapatkan kesaksian dari para hadirin khususnya dari dua orang saksi pernikahan dengan cara meminta saksi mengatakan lafal "SAH" atau perkataan lain yang sama maksudya dengan perkataan itu.
Selanjutnya Wali/wakil Wali akan membaca doa selamat agar pernikahan suami istri itu kekal dan bahagia sepanjang kehidupan mereka serta doa itu akan diAminkan oleh para hadirin
Bersamaan itu pula, mas kawin/mahar akan diserahkan kepada pihak istri dan selanjutnya berupa cincin akan dipakaikan kepada jari cincin istri oleh suami sebagai tanda dimulainya ikatan kekeluargaan atau simbol pertalian kebahagian suami istri.Aktivitas ini diteruskan dengan suami mencium istri.Aktivitas ini disebut sebagai "Pembatalan Wudhu".Ini karena sebelum akad nikah dijalankan suami dan isteri itu diminta untuk berwudhu terlebih dahulu.
Suami istri juga diminta untuk salat sunat nikah sebagai tanda syukur setelah pernikahan berlangsung. Pernikahan Islam yang memang amat mudah karena ia tidak perlu mengambil masa yang lama dan memerlukan banyak aset-aset pernikahan disamping mas kawin,hantaran atau majelis umum (walimatul urus)yang tidak perlu dibebankan atau dibuang.
M.  Wakil wali/ Qadi
Wakil wali/Qadi adalah orang yang dipertanggungjawabkan oleh institusi Masjid atau jabatan/pusat Islam untuk menerima tuntutan para Wali untuk menikahkan/mengahwinkan bakal istri dengan bakal suami.Segala urusan pernikahan,penyediaan aset pernikahan seperti mas kawin,barangan hantaran(hadiah),penyedian tempat pernikahan,jamuan makan kepada para hadirin dan lainnya adalah tanggungjawab pihak suami istri itu. Qadi hanya perlu memastikan aset-aset itu telah disediakan supaya urusan pernikahan berjalan lancar.Disamping tanggungjawabnya menikahi suami istri berjalan dengan sempurna,Qadi perlu menyempurnakan dokumen-dokumen berkaitan pernikahan seperti sertifikat pernikahan dan pengesahan suami istri di pihak tertinggi seperti mentri agama dan administratif negara.Untuk memastikan status resmi suami isteri itu sentiasa sulit dan terpelihara.Qadi selalunya dilantik dari kalangan orang-orang alim(yang mempunyai pengetahuan dalam agama Islam dengan luas) seperti Ustaz,Muallim,Mufti,Sheikh ulIslam dan sebagainya.Qadi juga mesti merupakan seorang laki-laki Islam yang sudah merdeka dan telah pubertas.
N.    Malam Pertama Dan Adab Bersenggama

Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Malam Pertama Dan Adab Bersenggama
Saat pertama kali pengantin pria menemui isterinya setelah aqad nikah, dianjurkan melakukan beberapa hal, sebagai berikut:

Pertama: Pengantin pria hendaknya meletakkan tangannya pada ubun-ubun isterinya seraya mendo’akan baginya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


“Apabila salah seorang dari kamu menikahi wanita atau membeli seorang budak maka peganglah ubun-ubunnya lalu bacalah ‘basmalah’ serta do’akanlah dengan do’a berkah seraya mengucapkan: ‘Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiatnya yang ia bawa. Dan aku berlindung dari kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa.’”

Kedua: Hendaknya ia mengerjakan shalat sunnah dua raka’at bersama isterinya.

Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata: “Hal itu telah ada sandarannya dari ulama Salaf (Shahabat dan Tabi’in).

1. Hadits dari Abu Sa’id maula (budak yang telah dimerdekakan) Abu Usaid.
Ia berkata: “Aku menikah ketika aku masih seorang budak. Ketika itu aku mengundang beberapa orang Shahabat Nabi, di antaranya ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu Dzarr dan Hudzaifah radhiyallaahu ‘anhum. Lalu tibalah waktu shalat, Abu Dzarr bergegas untuk mengimami shalat. Tetapi mereka berkata: ‘Kamulah (Abu Sa’id) yang berhak!’ Ia (Abu Dzarr) berkata: ‘Apakah benar demikian?’ ‘Benar!’ jawab mereka. Aku pun maju mengimami mereka shalat. Ketika itu aku masih seorang budak. Selanjutnya mereka mengajariku, ‘Jika isterimu nanti datang menemuimu, hendaklah kalian berdua shalat dua raka’at. Lalu mintalah kepada Allah kebaikan isterimu itu dan mintalah perlindungan kepada-Nya dari keburukannya. Selanjutnya terserah kamu berdua...!’”

2. Hadits dari Abu Waail.
Ia berkata, “Seseorang datang kepada ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, lalu ia berkata, ‘Aku menikah dengan seorang gadis, aku khawatir dia membenciku.’ ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Sesungguhnya cinta berasal dari Allah, sedangkan kebencian berasal dari syaitan, untuk membenci apa-apa yang dihalalkan Allah. Jika isterimu datang kepadamu, maka perintahkanlah untuk melaksanakan shalat dua raka’at di belakangmu. Lalu ucapkanlah (berdo’alah):


“Ya Allah, berikanlah keberkahan kepadaku dan isteriku, serta berkahilah mereka dengan sebab aku. Ya Allah, berikanlah rizki kepadaku lantaran mereka, dan berikanlah rizki kepada mereka lantaran aku. Ya Allah, satukanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan dan pisahkanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan.”

Ketiga: Bercumbu rayu dengan penuh kelembutan dan kemesraan. Misalnya dengan memberinya segelas air minum atau yang lainnya.

Hal ini berdasarkan hadits Asma’ binti Yazid binti as-Sakan radhiyallaahu ‘anha, ia berkata: “Saya merias ‘Aisyah untuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu saya datangi dan saya panggil beliau supaya menghadiahkan sesuatu kepada ‘Aisyah. Beliau pun datang lalu duduk di samping ‘Aisyah. Ketika itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam disodori segelas susu. Setelah beliau minum, gelas itu beliau sodorkan kepada ‘Aisyah. Tetapi ‘Aisyah menundukkan kepalanya dan malu-malu.” ‘Asma binti Yazid berkata: “Aku menegur ‘Aisyah dan berkata kepadanya, ‘Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam!’ Akhirnya ‘Aisyah pun meraih gelas itu dan meminum isinya sedikit.”


Keempat: Berdo’a sebelum jima’ (bersenggama), yaitu ketika seorang suami hendak menggauli isterinya, hendaklah ia membaca do’a:


“Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah aku dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari anak yang akan Engkau karuniakan kepada kami.”

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maka, apabila Allah menetapkan lahirnya seorang anak dari hubungan antara keduanya, niscaya syaitan tidak akan membahayakannya selama-lamanya.”

Kelima: Suami boleh menggauli isterinya dengan cara bagaimana pun yang disukainya asalkan pada kemaluannya.


Allah Ta’ala berfirman:

"Artinya : Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangi-lah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang beriman.” [Al-Baqarah : 223]

Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Pernah suatu ketika ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu datang kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, celaka saya.’ Beliau bertanya, ‘Apa yang membuatmu celaka?’ ‘Umar menjawab, ‘Saya membalikkan pelana saya tadi malam.’ Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan komentar apa pun, hingga turunlah ayat kepada beliau:

"Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai...” [Al-Baqarah : 223]

Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Setubuhilah isterimu dari arah depan atau dari arah belakang, tetapi hindarilah (jangan engkau menyetubuhinya) di dubur dan ketika sedang haidh".

Juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

"Silahkan menggaulinya dari arah depan atau dari belakang asalkan pada kemaluannya".

Seorang Suami Dianjurkan Mencampuri Isterinya Kapan Waktu Saja
• Apabila suami telah melepaskan hajat biologisnya, janganlah ia tergesa-gesa bangkit hingga isterinya melepaskan hajatnya juga. Sebab dengan cara seperti itu terbukti dapat melanggengkan keharmonisan dan kasih sayang antara keduanya. Apabila suami mampu dan ingin mengulangi jima’ sekali lagi, maka hendaknya ia berwudhu’ terlebih dahulu.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Jika seseorang diantara kalian menggauli isterinya kemudian ingin mengulanginya lagi, maka hendaklah ia berwudhu’ terlebih dahulu.”

• Yang afdhal (lebih utama) adalah mandi terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Rafi' radhi-yallaahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menggilir isteri-isterinya dalam satu malam. Beliau mandi di rumah fulanah dan rumah fulanah. Abu Rafi' berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa tidak dengan sekali mandi saja?” Beliau menjawab.

"Ini lebih bersih, lebih baik dan lebih suci.”

• Seorang suami dibolehkan jima’ (mencampuri) isterinya kapan waktu saja yang ia kehendaki; pagi, siang, atau malam. Bahkan, apabila seorang suami melihat wanita yang mengagumkannya, hendaknya ia mendatangi isterinya. Hal ini berdasarkan riwayat bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melihat wanita yang mengagumkan beliau. Kemudian beliau mendatangi isterinya -yaitu Zainab radhiyallaahu ‘anha- yang sedang membuat adonan roti. Lalu beliau melakukan hajatnya (berjima’ dengan isterinya). Kemu-dian beliau bersabda,

"Sesungguhnya wanita itu menghadap dalam rupa syaitan dan membelakangi dalam rupa syaitan. Maka, apabila seseorang dari kalian melihat seorang wanita (yang mengagumkan), hendaklah ia mendatangi isterinya. Karena yang demikian itu dapat menolak apa yang ada di dalam hatinya.” 

Imam an-Nawawi rahimahullaah berkata : “ Dianjurkan bagi siapa yang melihat wanita hingga syahwatnya tergerak agar segera mendatangi isterinya - atau budak perempuan yang dimilikinya -kemudian menggaulinya untuk meredakan syahwatnya juga agar jiwanya menjadi tenang.”

Akan tetapi, ketahuilah saudara yang budiman, bahwasanya menahan pandangan itu wajib hukumnya, karena hadits tersebut berkenaan dan berlaku untuk pandangan secara tiba-tiba.

Allah Ta’ala berfirman:

"“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat” .[An-Nuur : 30]

Dari Abu Buraidah, dari ayahnya radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ber-sabda kepada ‘Ali.

"Wahai ‘Ali, janganlah engkau mengikuti satu pandangan pandangan lainnya karena yang pertama untukmu dan yang kedua bukan untukmu”.

• Haram menyetubuhi isteri pada duburnya dan haram menyetubuhi isteri ketika ia sedang haidh/ nifas.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

"Artinya : Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haidh. Katakanlah, ‘Itu adalah sesuatu yang kotor.’ Karena itu jauhilah isteri pada waktu haidh; dan janganlah kamu dekati sebelum mereka suci.
Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang bertaubat dan mensucikan diri.” [Al-Baqarah : 222]

Juga sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

"Barangsiapa yang menggauli isterinya yang sedang haidh, atau menggaulinya pada duburnya, atau mendatangi dukun, maka ia telah kafir terhadap ajaran yang telah diturunkan kepada Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.”

Juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

"Dilaknat orang yang menyetubuhi isterinya pada duburnya.”

• Kaffarat bagi suami yang menggauli isterinya yang sedang haidh.
Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata, “Barangsiapa yang dikalahkan oleh hawa nafsunya lalu menyetubuhi isterinya yang sedang haidh sebelum suci dari haidhnya, maka ia harus bershadaqah dengan setengah pound emas Inggris, kurang lebihnya atau seperempatnya. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang orang yang menggauli isterinya yang sedang haidh. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

"Hendaklah ia bershadaqah dengan satu dinar atau setengah dinar.’”

• Apabila seorang suami ingin bercumbu dengan isterinya yang sedang haidh, ia boleh bercumbu dengannya selain pada kemaluannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

"Lakukanlah apa saja kecuali nikah (jima'/ bersetubuh).”

• Apabila suami atau isteri ingin makan atau tidur setelah jima’ (bercampur), hendaklah ia mencuci kemaluannya dan berwudhu' terlebih dahulu, serta mencuci kedua tangannya. Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Apabila beliau hendak tidur dalam keadaan junub, maka beliau berwudhu' seperti wudhu' untuk shalat. Dan apabila beliau hendak makan atau minum dalam keadaan junub, maka beliau mencuci kedua tangannya kemudian beliau makan dan minum.”

Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia berkata,

"Apabila Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hendak tidur dalam keadaan junub, beliau mencuci kemaluannya dan berwudhu’ (seperti wudhu') untuk shalat.”

• Sebaiknya tidak bersenggama dalam keadaan sangat lapar atau dalam keadaan sangat kenyang, karena dapat membahayakan kesehatan.

• Suami isteri dibolehkan mandi bersama dalam satu tempat, dan suami isteri dibolehkan saling melihat aurat masing-masing.

Adapun riwayat dari ‘Aisyah yang mengatakan bahwa ‘Aisyah tidak pernah melihat aurat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah riwayat yang bathil, karena di dalam sanadnya ada seorang pendusta.

• Haram hukumnya menyebarkan rahasia rumah tangga dan hubungan suami isteri.

Setiap suami maupun isteri dilarang menyebarkan rahasia rumah tangga dan rahasia ranjang mereka. Hal ini dilarang oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, orang yang menyebarkan rahasia hubungan suami isteri adalah orang yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya pada hari Kiamat adalah laki-laki yang bersenggama dengan isterinya dan wanita yang bersenggama dengan suaminya kemudian ia menyebarkan rahasia isterinya.”

Dalam hadits lain yang shahih, disebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan kalian lakukan (menceritakan hubungan suami isteri). Perumpamaannya seperti syaitan laki-laki yang berjumpa dengan syaitan perempuan di jalan lalu ia menyetubuhinya (di tengah jalan) dilihat oleh orang banyak…”

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah berkata, “Apa yang dilakukan sebagian wanita berupa membeberkan maslah rumah tangga dan kehidupan suami isteri kepada karib kerabat atau kawan adalah perkara yang diharamkan. Tidak halal seorang isteri menyebarkan rahasia rumah tangga atau keadaannya bersama suaminya kepada seseorang.
Allah Ta’ala berfirman:

"Artinya : “Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).” [An-Nisaa' : 34]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat adalah laki-laki yang bersenggama dengan isterinya dan wanita yang bersenggama dengan suaminya, kemudian ia menyebarkan rahasia pasangannya".

O.     waktu yang tepat untuk melakukan pernikahan
pernikahan. Mesti kami beritahukan sebelumnya bahwa tak ada saat-saat atau hari-hari tertentu yang harus dijadikan pertimbangan untuk melangsungkan pernikahan. Begitu pula dengan hari buruk untuk menikah. Semua hari dalam setahun baik untuk menikah.

Adapun anggapan tentang hari buruk dan hari baik untuk menikah merupakan bawaan dari zaman jahiliyah. Bangsa Arab Jahiliyah dulunya enggan melakukan perkawinan di bulan syawal, lantaran di dalam nama Syawal terkandung makna “terangkat”.

Namun, Aisyah ra, sebagaimana yang tertera dalam Shahih Muslim menuturkan,

“Rasulullah saw menikahiku di bulan syawal , dan berkumpul denganku di bulan syawal. Tidak ada istri-istri beliau yang seberuntung aku”

waktu+untuk+menikah
Oleh karena itu, Aisyah sangat merekomendasikan kepada wanita-wanita untuk melakukan pernikahan di bulan syawal agar tidak menyamai masyarakat Jahiliyah.

Sebagian besar umat muslim biasanya enggan untuk menikah di bulan ramadhan demi menjaga kewajiban puasa. Mereka khawatir jika kedua pengantin ditaklukkan oleh syahwat di siang hari. Ini hanyalah kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, bukan ajaran yang digariskan oleh agama. Intinya tipa orang harus mengetahui kapasitas dan potensi diri masing-


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan diatas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut :
1.    Perkawinan dalam islam adalah suatu akad atau suatu perjanjian yang mengikat antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang tujuannya adalah untuk menghalalkan hubungan kelamin antara seorang laki-laki dan perempuan secara suka rela.
2.    Hukum perkawinan menurut pandangan islam yaitu Wajib, Sunat, Wajib, Makruh dan Haram.
3.    Tujuan dan hikmah perkawinan dalam pandangan islam yaitu Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi, Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur, Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami, Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah serta Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih.
4.    Cara –cara perkawinan yang sah menurut hokum islam yaitu Khitbah (Peminangan), Aqad Nikah dan Walimah.
B.   Saran
Semoga orang-orang yang siap menikah terlebih dahulu mencari pengetahuan sedikit tentang tata cara menikah yang baik, sehingga pada saat menikah nanti mereka tidak bingung apa yang dilakukan dan apa yang harus diperbuat.


DAFTAR PUSTAKA

Achmad Kuzari, 1995. Nikah Sebagai Perikatan. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Al-Hamdani, 2002. Risalah an-Nikah. Pustaka Amani: Jakarta.
Dewantoro Sulaiman, SE, Agenda Pengantin, Hidayatul Insan, Solo, 2002

Al-Hamdani, Risalah an-Nikah, Pustaka Amani: Jakarta. 2002




                            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar